Dulang 12 Rabiul Awal

Ditulis oleh Izzah Zhahrina, 20 Januari 2023

DULANG 12 RABIUL AWAL

 

“Jang, bangun Jang! ”

“Oo Jang, lah siang ari ne. keburu dipatok ayem rezeki rik kelak e”, sahut Emak dari dapur.

Itulah alarmku di pagi hari, Emak selalu membangunkanku dengan mengatakan bahwa hari sudah siang, padahal masih subuh. Aku pun bergegas mengambil air wudhu dan pergi melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. Hawa sejuk dan aroma khas perdesaan selalu menyelimuti tubuhku selama perjalanan menuju masjid. kami melaksanakan shalat dengan khusyuk dan setelah selesai shalat kami bercengkrama sembari pulang ke rumah masing-masing.

Malam nanti akan diadakan acara nganggung untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW., jadi aku disuruh Emak untuk mencari ikan sebagai hidangan nganggung.

Nganggung adalah tradisi budaya masyarakat Bangka Belitung membawa makanan ke surau dan memakannya bersama-sama untuk memperingati hari-hari besar agama islam. Nganggung kali ini akan terasa berbeda karena aku akan memakai dulang, biasanya aku hanya membawa rantang. Aku pun merasa tidak sabar menantikan acara tersebut.

Hari ini aku akan pergi bersama Rendi dan Gusti untuk mencari ikan. Mereka merupakan kawan baikku, kami sering menghabiskan waktu bermain bersama. Kami berangkat sekitar jam 9 dengan membawa perlengkapan mancing dan umpan masing-masing. Lokasi kami memancing tidak terlalu jauh dari kampung, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami saling bersenda gurau, sehingga tak terasa kami telah sampai.

Agar mendapatkan banyak ikan, kami berpencar di sungai tersebut. Aku memilih hulu sungai, tempat biasanya aku mendapatkan banyak ikan. Tapi setelah 2 jam memancing, aku belum mendapatkan ikan seekor pun. Aku menghampiri Rendi dan gusti, ternyata mereka juga belummendapatkan ikan sama sekali. Kami memutuskan untuk pindah lokasi dengan masuk lebih jauh ke dalam hutan, di sana terdapat camoi1. Tapi Rendi menolaknya, karena dia takut di sana ada hewan buas. Aku dan Gusti berusaha meyakinkan Rendi dengan mengatakan bahwa tidak ada hewan buas di sana dan kalau ada hewan buas mereka tidak akan mengganggu kita kalau kita tidak mengganggu mereka. Akhirnya, Rendi pun mau memancing di camoi itu setelah mendengarkan perkataan kami.

Hutan yg kami lalui sangat lebat dan terdapat banyak buah-buahan liar, seperti buah nasi, rukem, kera dudok, manggis dan kelubi. Kami pun berhenti sejenak di bawah pohon manggis untuk beristirahat dan mengumpulkan buah-buahan untuk dimakan. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk mengumpulkan dan memakan semua buah-buahan itu. Setelah kekenyangan, kami berangan-angan tentang nganggung nanti malam. Rendi dan Gusti selalu membayangkan makanan apa yang akan mereka makan, tapi aku membayangkan betapa bangganya aku membawa dulang pertamaku.

“Jang, yo nek gi dek!”, panggilan rendi membuyarkan lamunanku. Ternyata mereka sudah mulai berangkat, aku pun segera beranjak menyusul mereka. Tak lama kami sampai di camoi, airnya sangat jernih. Membuat Rendi dan Gusti ingin segera berenang, tapi aku melarangnya karena tujuan kami ke sini untuk memancing bukan berenang. Camoi ini tidak terlalu besar dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon rindang, sehingga membuatnya teduh. Sungguh, camoi ini adalah tempat yang sempurna untuk memancing dan tampaknya camoi ini jarang didatangi orang.

Matahari sudah tepat berada di atas kepala, dan kami mulai memancing. Kami mulai berpencar mencari tempat masing-masing. Aku belum pernah mancing di camoi ini dan sepertinya di camoi ini terdapat banyak ikan besar. Benar saja, baru saja aku melemparkan umpan, pancingku ditarik ikan besar. Aku mendapatkan banyak ikan besar dan berbagai macam jenis. Aku sangat senang karena ikan-ikan yang kudapatkan ini bisa dibuat menjadi berbagai macam olahan lezat oleh Emak dan menghidangkannya di acara nganggung nanti. Rendi dan Gusti juga sama, mereka juga mendapatkan banyak ikan besar berbagai jenis.

Aku melemparkan umpan terakhir. Saat sedang beres-beres, pancingku di seret ke tengah camoi oleh ikan yang sangat besar. Aku langsung terjun dan berenang menuju pancingku. Betapa kagetnya aku, setelah mengetahui ternyata yang memakan umpanku adalah ular sabe rendem2 yang besar. Aku segera berenang menuju ke tepian. Tiba-tiba kakiku ditarik oleh sesuatu, ku lihat ke dalam air tidak apa-apa. Aku pun berteriak memanggil Rendi dan Gusti, mereka langsung berlari untuk menolongku. Aku hampir kehabisan napas dan kakiku mulai sulit digerakkan. Aku hampir menyerah, tapi aku terus berusaha, karena ada dulang yang harus ku bawa ke masjid mlam ini. Rendi dan Gusti akhirnya berenang dan membawaku ke tepian.

Tubuhku lemas, wajahku pucat. Aku duduk sejenak untuk mengumpulkan tenaga sambil menunggu Rendi dan Gusti mebereskan alat pancing dan ikan yang kami dapatkan.

Setelah tenaga sudah terkumpul, tanpa pikir panjang kami langsung pulang ke kampung. Perjalanan pulang kami diiringi nyanyian burung-burung. Di tengah jalan, kami bertemu dengan ular bedakek 3. Ular ini sangat berbahaya berbeda dengan ular sabe rendem yang hanya melilit, karena memiliki bisa yang mematikan dan bisa mengejar menusia. Kami seketika berhenti dan berusaha tidak bergerak. Tapi, ular itu malah semakin mendekat. Kami tidak punya pilihan lain selain berlari, kami lari terbirit-birit bahkan beberapa kali hampir terjatuh. Untung saja kami berhasil sampai keluar dari hutan dengan selamat, walaupun bajuku robek terkena ranting kayu dan badan kami kotor semua. Kami berjalan menuju kampung dan pulang ke rumah masing-masing.

Aku pulang ke rumah dengan jantung yang berdetak tak karuan. Aku takut dimarahi Emak, karena bajuku robek dan tubuhku kotor. Aku tiba di rumah jam 4 sore. Emak sudah menungguku di pintu rumah, dan mulai marah setelah melihat kondisiku. Tapi, aku berhasil mencairkan emosi Emak dengan ikan yang ku bawa. Emak pun menyuruhku mandi dan dan mengqadha shalat dzuhur, karena ia pasti tahu kalau aku tidak shalat dzuhur. Tidak butuh waktu yang lama bagi Emak untuk mengolah ikan-ikan tadi. Setelah magrib, di atas meja sudah ada dulang yang mengkilap dan bebagai makanan yang menggugah selera seperti lempah kuning, pempek, ikan goreng, dan lain-lain.

Waktu yang ku tunggu-tunggu telah tiba, aku menyusun semua hidangan tadi di atas dulang. Semua orang pergi menuju masjid., aku pun membawa dulang ke masjid dengan bangga. Sesampainya di masjid kami mengatur posisi dulang dan rantang. Sungguh, tradisi ini sangat mencerminkan gotong royong. Kami mendengarkan khotbah tentang Maulid Nabi Muhammad dan berdoa. Bedug sudah dipukul sebanyak 3 kali, artinya kita semua sudah boleh memakan semua hidangan. Aku juga melihat Rendi dan Gusti saling mengincar makanan favoritnya. Aku bahagia karna bisa membawa dulang ke masjid dan semua makanan yang ku bawa habis. Setelah acara nganggung selesai, aku pun membawa dulangku pulang sambil membawa beberapa kue untuk Emak di rumah

Komentar (0)
Belum ada komentar
Masukan Komentar Anda :
Sajak Untuk Bumi
Sajak Untuk Bumi

Bumi sudah merenta Waktu telah mengais puing raganya Raga yang mulai gemetar     Aku menghadap ke[..]

Ditulis oleh arg

Venus: Goddess of Love and Beauty
Venus: Goddess of Love and Beauty

[..]

Ditulis oleh kts

Tak Ku Sangka Dia
Tak Ku Sangka Dia

[..]

Ditulis oleh Ayu Kirani Azzahra

Listen Before I Go
Listen Before I Go

  [..]

Ditulis oleh kts

Filosofi Kemerdekaan
Filosofi Kemerdekaan

[..]

Ditulis oleh Ahmad Frizar Baharrizky

Mentari Rembulan
Mentari Rembulan

Sabarlah Ibu, [..]

Ditulis oleh Dikanio Hanif Purnomo

Percakapan di Kedai Kopi
Percakapan di Kedai Kopi

[..]

Ditulis oleh gap

Senja Bersama Ayah
Senja Bersama Ayah

Aku duduk termenung di sebuah pondok kecil buatan ayahku. Pondok yang letaknya menghadap matahari terbenam, sambil menatap hamparan sawah yang meng[..]

Ditulis oleh Rindah

Menghargai Arti Pertemuan
Menghargai Arti Pertemuan

Hai, Bumi ... Mungkin kau sudah terlalu lelah dengan semua ini Terlalu lelah untuk menghadapi tingkah egois manusia Makin t[..]

Ditulis oleh Putri Nur Hidayah Komaria