Ditulis oleh gap, 16 Mei 2021
Suasana kota sedang ramai. Di antara gedung-gedung pencakar langit yang seakan beradu tanding dengan terik dan kebisingan jalanan, orang beramai-ramai memadati trotoar dengan langkah gontainya. Aku ingat bagaimana di hari itu dengan tanganmu yang merangkul lenganku, kau asyik memutar bola matamu ke sana kemari memperhatikan setiap sudut jalanan. Langkahmu tiba-tiba berhenti di depan toko kelontong, aku pun ikut berhenti. Rupanya pandanganmu beralih kepada kerumuman orang-orang di seberang jalan. Seorang paruh bayah yang duduk di antara banyak sangkar dengan burung di dalamnya, itulah yang menarik perhatian gadis ber-hoodie merah darah dengan rambut hitam panjang berkuncir kuda itu.
"Lihat itu!" katamu menunjuk ke seberang jalan, "burung itu berkicau merdu dalam sangkar. Sepertinya bahagia."
"Menurutmu begitu?" tanyaku.
"Tentu saja. Lihat orang-orang yang lewat ikut bahagia mendengarnya."
Kau tampak sangat kagum dengan suara merdu itu. Aku perlahan melepaskan rangkulanmu dari lenganku, lalu berjalan beberapa langkah dan berhenti di depan jendela sebuah kedai kopi. Kau yang sadar aku menghilang dari sisimu langsung menghampiri.
"Coba lihat ke sana," kataku menunjuk wanita tua sedang duduk di dalam kedai menghadap alat pemutar musik dengan piringan hitam, "apa yang kau lihat?"
"Wanita itu sedih. Dia menangis"
Aku tersenyum sesaat. Lalu, ku gandeng tanganmu untuk kubawa masuk ke kedai.
"Menurutmu dia sedih?" tanyaku lagi.
"Oh, rupanya dia merasa haru mendengar musik dalam ruangan ini."
"Kadang, apa yang ditangkap mata tidak selamanya nyata. Kau butuh sisi lain untuk mengerti apa yang kau alami,” kataku. “Dunia selicik itu, kau harus pandai membaca teka-tekinya.”
“Kau memulai ceramahmu,” jawabmu dengan wajah cemberut serta pipi yang menggelembung—begitu lucu.
“Kau mau tahu tidak apalagi kelicikan paling besar di dunia ini?” tambahku.
Kau diam, mematung. Namun, kemudian melemparkan tatapan seolah ingin tahu jawabannya.
“Manusia, mereka bisa larut dalam kesedihan manusia lain, dan mereka juga bisa menertawakan pada saat bersamaan.”
Aku memandang ke arah wanita tua itu yang kemudian membalas tatapanku. Kulambaikan tangan dan senyuman ke arahnya. Kau kembali memicingkan mata padaku—siap menerkamku dengan sebuah pertanyaan.
"Kenapa?" tanyaku heran menunduk ke arah wajahnya yang tepat sebahuku.
"Kau larut dalam bahagia wanita itu sampai tersenyum begitu?" tanyamu.
Aku tertegun—menundukkan kepala, lalu menoleh ke arahmu sambil tersenyum kembali.
"Kau pikir begitu?” tanyaku .
“Tentu saja,” jawabmu cepat.
Aku mengalihkan arah pandang dan berkata, “Kau pun perlu tahu bahwa senyum manusia juga punya cara liciknya sendiri untuk bisa menyembunyikan sesuatu."
"Apa?" Bola matamu membulat bak bola hitam. Aku seperti melihat ribuan daftar kalimat tanya yang siap kau hujani kepadaku.
Aku mengacak pelan rambutmu, meraih tanganmu sambil berkata, "Sudah. Ayo kita pergi!"
Bumi sudah merenta Waktu telah mengais puing raganya Raga yang mulai gemetar Aku menghadap ke[..]
Ditulis oleh arg
Aku duduk termenung di sebuah pondok kecil buatan ayahku. Pondok yang letaknya menghadap matahari terbenam, sambil menatap hamparan sawah yang meng[..]
Ditulis oleh Rindah
Hai, Bumi ... Mungkin kau sudah terlalu lelah dengan semua ini Terlalu lelah untuk menghadapi tingkah egois manusia Makin t[..]
Ditulis oleh Putri Nur Hidayah Komaria