Ditulis oleh Rindah, 28 Agustus 2021
Aku duduk termenung di sebuah pondok kecil buatan ayahku. Pondok yang letaknya menghadap matahari terbenam, sambil menatap hamparan sawah yang menghijau, mungkin beberapa bulan lagi akan panen. Di ujung sana, surya tengah menuju kepulangannya dengan sang jingga yang menghantarkan kepergiannya.
Tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan di benakku, tentang sebuah perpisahan. Mengapa ada sebuah pertemuan ketika pada akhirnya berpisah? Aku bukan bicara perihal dua pasang kekasih yang tengah bertengkar lalu berpisah, kemudian menyalahkan pertemuan. Bukan, aku bukan bicara itu.
Masih bergelayut dalam pikiran itu, tiba-tiba seseorang menyentuh kepalaku yang tertutup sebuah kerudung. Aku terkejut, sontak menoleh.
"Ayah," ucapku.
"Apa yang kau lakukan disini ?" tanya ayah yang kini telah duduk disampingku.
"Sedang menatap sebuah kepergian, melihat sebuah perpisahan dan merasakan kehilangan. "
Ucapku spontan tanpa melihat ayah. Aku masih fokus menatap sinar jingga yang kini mulai padam. Ayahku terkekeh tanpa menanggapi jawabanku.
Kemudian hening ada diantara kami.
"Ayah, aku boleh bertanya?" ucapku memecah keheningan. Ayah hanya menoleh lalu tersenyum, senyum paling hangat yang pernah ada, yang bila ku artikan artinya ya.
"Ayah, kenapa tuhan menciptakan pertemuan kalau akhirnya kita berpisah? " Kini
pertanyaan yang sedari tadi menggelayutiku, kulepaskan.
"Kenapa harus ada kehilangan, ketika bersama itu menyenangkan?" tanyaku beruntun.
Sebuah harapan muncul, semoga jawaban ayah melegakan. Ayah kembali tersenyum, menatapku.
"Anakku, dalam hidup ini tak ada yang benar-benar abadi, semua berganti seiring waktu." Ayah mulai memberiku sebuah jawaban.
"Kau tahu, setiap pertemuan selalu memberi arti. Perihal kenapa kau dipertemukan dengan seseorang, mungkin karena ada sesuatu hal yang harus kau pelajari. Kita seharusnya mengambil makna dari setiap pertemuan dan perpisahaan. " Aku masih menatap ayah dengan saksama.
"Tak ada yang benar-benar kita miliki, semua ini cuma titipan. Semuanya, termasuk kau, begitu pun dengan ayah. Kita akan kembali kepada-Nya, kita akan berpisah, kita akan kehilangan. Jadi jangan merutuki temu. Nikmati saja, suka duka itu selalu ada, asal kau percaya semua sudah terencana. Keikhlasan adalah kunci dari rasa tenang dalam hidup, memang tak mudah tapi belajarlah. Kau paham maksud ayah?"
"Iya, Ayah, aku paham." Aku mengangguk, tersenyum puas mendapati jawaban ayah.
Oh ayahku, sungguh jawabanmu selalu memuaskan.
Aku kembali menatap sinar jingga yang kini benar-benar hilang. Aku menoleh ke arah ayah. Hilang, tak ada ayah. Kemana ayah pergi? astaga ternyata aku berkhayal, kedatangan ayah hanyalah hayalanku.
Perlahan bulir-bulir jernih turun di mataku, aku tersadar dari lamunanku. Aku lupa ayah sudah pergi, berpulang kepelukan tuhan . Jadi, mungkinkah tadi pesan terakhir ayah?Ayah, untukmu terima kasih dan maaf, dari putrimu yang baru saja belajar tentang keikhlasan.
Tak terasa, azan magrib berkumandang dan langit mulai gelap. Aku harus pulang, ada yang harus aku jaga, ada yang harus aku bahagiakan. Sekarang, pasti ia sedang khawatir.
sumber foto: wallpapercave.com
Bumi sudah merenta Waktu telah mengais puing raganya Raga yang mulai gemetar Aku menghadap ke[..]
Ditulis oleh arg
Aku duduk termenung di sebuah pondok kecil buatan ayahku. Pondok yang letaknya menghadap matahari terbenam, sambil menatap hamparan sawah yang meng[..]
Ditulis oleh Rindah
Hai, Bumi ... Mungkin kau sudah terlalu lelah dengan semua ini Terlalu lelah untuk menghadapi tingkah egois manusia Makin t[..]
Ditulis oleh Putri Nur Hidayah Komaria